Imajiner: Surat Terakhir

by - 15.6.20





Tanggal 6
Tahun terakhir


Bingung mulai dari mana..



Ingin nanya kabar, rasanya basi.
Ingin nanya lagi apa, apalagi ini.
Inginnya banyak sekali sampai terkadang membingungkan.

Oh ya... Gimana rasanya tinggal di sana? Sepertinya seru ya kalau mendengar nama tempatnya. Selalu identik dengan pantainya yang selalu dikatakan mempesona. Iriku memuncak.



Yap jadi...

Aku dapat pelajaran banyak selama ini. Saat aku mencoba untuk 'meraih' kamu lagi, seperti ada dinding lebih tebal dibandingkan dahulu.
Rasanya waktu terakhir dan akhirnya kita bertemu, aku sudah mempersiapkan diriku untuk menerimamu kembali. Namun nyatanya mungkin itu hanya anganku saja yang terlalu berharap lebih sama manusia lain. Nyata, ya... Aku saja. Kamu tidak.

Aku tahu kedewasaan itu memang tidak dilihat dari umur. Kedewasaan benar diliat dari cara pikir dan pandang kita terhadap suatu pola kehidupan di berbagai aspek. Bagaimana kita menyikapi suatu masalah, cara kita menghadapi masalah tersebut, dan sebagainya. Akhirnya aku melihat kamu. Aku ingat lagi saat dulu kita bersama dan tidak bersama. Okey... Ternyata kamu sudah lebih dewasa dari umurmu sejak kita remaja (kenapa kosakata ‘remaja’ begitu menggelikan). Aku salut. Sampai detik ini akhirnya aku menyadari itu. Tidak bisa ditepis karena memang itu ada di garis kehidupanmu, ya ‘kan? Hebat sekali ya kamu. Aku bangga!

Kamu punya garis cerita hidupmu sendiri, aku juga punya garisku sendiri.

Lega hati saat menulis ini aku tidak menangis dan kebingungan seperti waktu lalu. Waktu itu aku mencoba keras buat mencari kontak kamu, mencoba mengirimkan pesan "hai" sampai aku bingung akan reaksimu, ditambah dengan kegalauan yang larut dalam hitungan hari. Sekarang aku hanya berpikir,

‘Oke, baiklah. Ya sudah kalau memang ini adanya. Ga ada guna aku selalu berpikir ini akan sama lagi, toh ia sudah punya kehidupan baru setidaknya itu jalannya dia dan dia sudah lebih baik sekarang. Tugasmu mungkin sudah selesai – bersamanya; sampai di sini. Cukup untuk tidak memikirkan tetap bisa bersamanya. Cukup terima saja dan biarkan semua ini mengalir dan terjadi, tanpa adanya keinginan memiliki lagi yang terlalu tinggi'.


Ternyata bukan kamu yang memilih untuk pergi, tapi aku yang nyatanya kehilangan sosok kamu dan akhirnya aku memilih tetap tinggal menunggu tiada akhir. Aku yang (mungkin) bodoh masih menunggu kehadiran kamu di setiap hariku.
Rasanya hal ini tidak pernah aku anggap sebagai beban, tapi kenapa rasa sakitnya selalu menjadi beban?

Hmm... Padahal aku tidak ingin bersedih. Sepertinya sedihnya jangan dilanjutkan. Lelah juga larut dalam kesedihan. Betul?


Jadi teringat memori saat surat fisik pertamamu –surat kita. Kenapa sangat menggemaskan? Setelah itu apa kamu ingat berapa surat yang sudah kita tulis dan beri?
Apa kamu ingat juga saat aku begitu antusias melihat hasil karyamu di atas kertas gambar kosong? Pohon kehidupan. Ku ingat jelas kamu menggambar satu pohon besar di atas kertas gambar tersebut. Goretan tinta warna hitam menemani gambar tersebut.
Apalagi tentang ini. Buka puasa di salah satu tempat yang belum pernah kita duga. Kenapa tidak bilang dari awal bahwa kamu tidak puasa? Bodoh, aku juga tidak bilang.
Juga memori-memori lainnya....


Entahlah, rasanya mungkin sekarang sudah cukup. Cukup saja, aku memilih berhenti. Lelah juga toh lari kalau tidak berhenti?
Sekarang aku sudah banyak belajar dari segala pengalaman dan sudut pandang.
Sudah tidak akan lagi berekspektasi tinggi-tinggi.
Sudah tidak mau lagi menggenggam terlalu erat sampai yang digenggam tersakiti.
Sudah sepertinya aku berhenti saja sampai di sini.
Berusaha untuk selalu merasa cukup dari segala kecukupan.

Tetap aku coba ambil positifnya dari semua ini; ada kamu yang baik-baik saja.

Tidak perlu penasaran maksud dan tujuanku dari menulis surat ini. Rasanya seperti tidak ada isi. Detik ini kamu tiba-tiba merasa menyesal dibarengi mual saat membaca surat ini, tolong berhenti sampai sini dan kembali melanjutkan aktivitasmu, oke? (Apa bercandaanku lucu?)


Yah begitulah...


Aku berhenti. Akhirnya.

Menyerah memang. Tapi aku pikir ini bukan berarti aku menyerah dengan hidupku, bukan? Aku melihat dan tahu kamu bahagia di sana masa aku tidak bahagia juga?!
Aku juga sudah cukup senang setidaknya dari segala lika-liku hidup ini akhinya kamu menemukan "kamu" di dalam hidup kamu, dan aku pun akhirnya menemukan "aku".




Tidak ada pentingnya juga tau tentang aku bahkan tentang tulisan ini, bukan begitu? (Hahaha)


Begitulah. Sosok aku nyatanya sulit untuk merelakan seseorang yang begitu ia sayang. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melepaskan apa yang ia tidak miliki seutuhnya. Waktu yang menjawab itu benar adanya. Sekarang aku lebih siap untuk menghadapi kenyataan tanpa bayang-bayangmu yang terus melekat di kepala.



Sepertinya ini akan menjadi tulisan terakhir aku untuk kamu. Cerita-cerita pelik dari relung hati dan pikiranku terdalam sudah kutulis sampai di sini saja. Kalaupun dikatakan cukup? Jujur tidak akan pernah cukup sama sekali. Mungkin dari 100, hanya 2% saja yang ada pada tulisan ini. Tapi aku rasa 2% ini sudah mewakili. Biar kamu yang menafsirkan sendiri 98% secara liar di dalam hati dan pikiranmu (jangan tanya angka-angka itu didapatkan dari mana).

Juga, tidak akan mungkin aku lupa tentangmu –tentang kita– sampai sekarang. Semoga pula sampai tua nanti. Sekarang yang dilakukan bukan berusaha untuk melupakan, tapi berusaha untuk selalu memupuk kenangan tentang kita sampai nantinya akan jadi cerita.

Yap. Sudah.


---


Untuk yang terakhir, sekali lagi, dan tidak akan pernah bosan.
Maaf dan terima kasih. Semoga selalu sehat, kamu!

Jadi orang baik dan bahagia terus, ya?



Salam,
GGG

You May Also Like

0 comments