Imajiner: Surat Terakhir
Tanggal 6
Tahun terakhir
Bingung mulai dari mana..
Ingin nanya kabar, rasanya
basi.
Ingin nanya lagi apa, apalagi
ini.
Inginnya banyak sekali sampai terkadang membingungkan.
Oh ya...
Gimana rasanya tinggal di sana? Sepertinya seru ya kalau mendengar nama
tempatnya. Selalu identik dengan pantainya yang selalu dikatakan mempesona. Iriku
memuncak.
Yap jadi...
Aku dapat pelajaran banyak selama ini.
Saat aku mencoba untuk 'meraih' kamu lagi, seperti ada dinding lebih tebal dibandingkan
dahulu.
Rasanya waktu terakhir dan
akhirnya kita bertemu, aku sudah mempersiapkan diriku untuk menerimamu kembali.
Namun nyatanya mungkin itu hanya anganku saja yang terlalu berharap lebih sama
manusia lain. Nyata, ya... Aku saja. Kamu tidak.
Aku tahu kedewasaan itu memang
tidak dilihat dari umur. Kedewasaan benar diliat dari cara pikir dan pandang
kita terhadap suatu pola kehidupan di berbagai aspek. Bagaimana kita menyikapi
suatu masalah, cara kita menghadapi masalah tersebut, dan sebagainya. Akhirnya
aku melihat kamu. Aku ingat lagi saat dulu kita bersama dan tidak bersama. Okey...
Ternyata kamu sudah lebih dewasa dari umurmu sejak kita remaja (kenapa kosakata
‘remaja’ begitu menggelikan). Aku salut. Sampai detik ini akhirnya aku
menyadari itu. Tidak bisa ditepis karena memang itu ada di garis kehidupanmu,
ya ‘kan? Hebat sekali ya kamu. Aku bangga!
Kamu punya garis cerita hidupmu
sendiri, aku juga punya garisku sendiri.
Lega hati saat menulis ini aku
tidak menangis dan kebingungan seperti waktu lalu. Waktu itu aku mencoba keras
buat mencari kontak kamu, mencoba mengirimkan pesan "hai" sampai aku
bingung akan reaksimu, ditambah dengan kegalauan yang larut dalam hitungan hari.
Sekarang aku hanya berpikir,
‘Oke,
baiklah. Ya sudah kalau memang ini adanya. Ga ada guna aku selalu berpikir ini
akan sama lagi, toh ia sudah punya kehidupan baru setidaknya itu jalannya dia
dan dia sudah lebih baik sekarang. Tugasmu mungkin sudah selesai – bersamanya; sampai di sini. Cukup untuk tidak memikirkan tetap bisa bersamanya. Cukup
terima saja dan biarkan semua ini mengalir dan terjadi, tanpa adanya keinginan
memiliki lagi yang terlalu tinggi'.
Ternyata bukan kamu yang
memilih untuk pergi, tapi aku yang nyatanya kehilangan sosok kamu dan akhirnya
aku memilih tetap tinggal menunggu tiada akhir. Aku yang (mungkin) bodoh masih
menunggu kehadiran kamu di setiap hariku.
Rasanya hal ini tidak pernah
aku anggap sebagai beban, tapi kenapa rasa sakitnya selalu menjadi beban?
Hmm... Padahal aku tidak ingin
bersedih. Sepertinya sedihnya jangan dilanjutkan. Lelah juga larut dalam
kesedihan. Betul?
Jadi
teringat memori saat surat fisik pertamamu –surat kita. Kenapa sangat menggemaskan?
Setelah itu apa kamu ingat berapa surat yang sudah kita tulis dan beri?
Apa kamu
ingat juga saat aku begitu antusias melihat hasil karyamu di atas kertas gambar
kosong? Pohon kehidupan. Ku ingat jelas kamu menggambar satu pohon besar di
atas kertas gambar tersebut. Goretan tinta warna hitam menemani gambar
tersebut.
Apalagi tentang
ini. Buka puasa di salah satu tempat yang belum pernah kita duga. Kenapa tidak
bilang dari awal bahwa kamu tidak puasa? Bodoh, aku juga tidak bilang.
Juga memori-memori
lainnya....
Entahlah, rasanya mungkin
sekarang sudah cukup. Cukup saja, aku memilih berhenti. Lelah juga toh lari
kalau tidak berhenti?
Sekarang aku sudah banyak
belajar dari segala pengalaman dan sudut pandang.
Sudah tidak akan lagi
berekspektasi tinggi-tinggi.
Sudah tidak mau lagi
menggenggam terlalu erat sampai yang digenggam tersakiti.
Sudah sepertinya aku berhenti
saja sampai di sini.
Berusaha untuk selalu merasa cukup
dari segala kecukupan.
Tetap aku coba ambil
positifnya dari semua ini; ada kamu yang baik-baik saja.
Tidak perlu penasaran maksud
dan tujuanku dari menulis surat ini. Rasanya seperti tidak ada isi. Detik ini
kamu tiba-tiba merasa menyesal dibarengi mual saat membaca surat ini, tolong
berhenti sampai sini dan kembali melanjutkan aktivitasmu, oke? (Apa
bercandaanku lucu?)
Yah begitulah...
Aku berhenti. Akhirnya.
Menyerah memang. Tapi aku
pikir ini bukan berarti aku menyerah dengan hidupku, bukan? Aku melihat dan
tahu kamu bahagia di sana masa aku tidak bahagia juga?!
Aku juga sudah cukup senang
setidaknya dari segala lika-liku hidup ini akhinya kamu menemukan
"kamu" di dalam hidup kamu, dan aku pun akhirnya menemukan
"aku".
Tidak ada pentingnya juga tau
tentang aku bahkan tentang tulisan ini, bukan begitu? (Hahaha)
Begitulah. Sosok aku nyatanya
sulit untuk merelakan seseorang yang begitu ia sayang. Butuh waktu
bertahun-tahun untuk melepaskan apa yang ia tidak miliki seutuhnya. Waktu yang
menjawab itu benar adanya. Sekarang aku lebih siap untuk menghadapi kenyataan tanpa
bayang-bayangmu yang terus melekat di kepala.
Sepertinya ini akan menjadi
tulisan terakhir aku untuk kamu. Cerita-cerita pelik dari relung hati dan
pikiranku terdalam sudah kutulis sampai di sini saja. Kalaupun dikatakan cukup?
Jujur tidak akan pernah cukup sama sekali. Mungkin dari 100, hanya 2% saja yang
ada pada tulisan ini. Tapi aku rasa 2% ini sudah mewakili. Biar kamu yang
menafsirkan sendiri 98% secara liar di dalam hati dan pikiranmu (jangan tanya
angka-angka itu didapatkan dari mana).
Juga, tidak akan mungkin aku
lupa tentangmu –tentang kita– sampai sekarang. Semoga pula sampai tua nanti.
Sekarang yang dilakukan bukan berusaha untuk melupakan, tapi berusaha untuk
selalu memupuk kenangan tentang kita sampai nantinya akan jadi cerita.
Yap. Sudah.
---
Untuk yang terakhir, sekali
lagi, dan tidak akan pernah bosan.
Maaf dan terima kasih. Semoga
selalu sehat, kamu!
Jadi orang baik dan bahagia
terus, ya?
Salam,
GGG
0 comments